AKU terbangun. Tapi tidak di ranjangku sendiri. Luas, dan berwarna
hijau. Ya. Ini sebuah padang rumput.
Kulihat
sekeliling. Seperti tanpa batas, hanya ada sebuah pohon besar di sudut mataku.
Matahari sungguh terik. Kuputuskan untuk berjalan lunglai kearahnya. Masih setengah
sadar.
Sesampainya
disana kurebahkan tubuhku di salah satu akar pohon. Masih tersisa banyak ruang
di akar ini. Terlalu besar pohon ini, memang. Mengadah keatas, daun-daun
terlihat mini di atas sana, seperti bagian bawah pohon ini terlihat lebih besar
daripada atas sana. Aku bingung.
Kulamunkan
diriku. Sedang apa aku disini. Untuk apa?
Lebih
jauh lagi. Apa ini?sebuah mimpikah?sejauh yang aku lihat, aku hanya sendiri
disini, tidak ada seekor nyamuk atau lalat, apalagi manusia. Jika ini sebuah
mimpi, maka, wajar.
Duniaku.
Begitulah aku menamai tempat yang serasa kukuasai sendiri saat ini. Tidak ada yang
bisa menancapkan bendera disini selain aku, jadi terserah aku. Lamunanku
semakin menjadi.
Siapa
aku disini. Apakah tetap sebagai aku sebelum aku tiba disini? Atau aku disini
sebagai aku yang lain? Aku sebagai peran yang lain, atau peran baru yang harus
aku isi sendiri. Entahlah, yang pasti tidak ada pedoman aku harus bagaimana dan
berbuat apa.
Jika aku menentukan tempat ini adalah duniaku,
berarti sejauh mataku memandang adalah wilayahku yang bebas ingin
aku-apakan-isinya. Memang, sebenarnya aku tidak sendiri disini, ada tanah,
rumput, angin, awan, matahari, dan sahabatku, si pohon besar disini.
Lalu
harus ku apakan semua ini?tanyaku pada aku sendiri. Pertama-tama aku harus
menciptakan sesuatu yang bisa aku ciptakan, aku tidak akan menjadi penguasa
jika tidak ada yang kukuasai.
Berkhayal,
aku akan membuat sebuah kastil dari bongkahan tanah yang tiba-tiba ada di
sebelah kananku. Perlahan-lahan ku tata satu persatu bongkahan tanah tersebut,
hingga setidaknya-mirip dengan sebuah kastil sesuai dengan bayangan di otakku.
Setelahnya aku melamun kembali, harus ada yang mengurus kastil ini.Selama aku
melamun bagaimana caranya, terlihat setitik hitam di koridor ujung barat
kastil-begitulah aku menamai ujung pojok-kiri kastil yang kubuat. Ternyata seekor
semut. Satu persatu mulai keluar dari bawah kastil yang kubuat.
Setelahnya,
aku baru sadar ternyata aku hanya perlu membayangkan sesuatu untuk menciptakan
sesuatu, pekerjaan sebelumnya terasa sia-sia.
Dalam
hitungan beberapa menit aku sudah menciptakan ribuan pohon, aliran sungai,
hewan-hewan dengan jumlah yang tidak seimbang sama sekali, matahari kedua, dan
jutaan manusia mini yang kusebut “orang”. Setelahnya aku bersantai menikmati
hasil pekerjaanku.
Dalam
sepuluh menit pertama, orang-orang ini ternyata meniru buah tanganku, mereka
menciptakan kastil yang sama persis dengan kastil yang ku buat, mereka
menduplikat pohon-pohon yang kuciptakan, dan menambah aliran sungai, tidak lupa
mereka menambah sekaligus membunuhi hewan-hewan yang kuciptakan, meskipun
kesemuanya membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih merepotkan dari caraku.
Sepuluh
menit kedua, mereka(orang) sudah memperbanyak diri menjadi empat kali lipat
dari yang aku ciptakan. Dan mereka berseteru. Heran mengapa mereka berseteru,
aku mendekatkan telinga ke tanah dan mencoba mendengar, ternyata mereka berebut
lahan.
Dengan
segera, aku membayangkan sebuah pulau yang berukuran sepuluh kali lipat dari
yang kutempati sekarang. Dan “voila”
terbentuk pulau itu. Kutempatkan setengah dari orang-orang itu ke pulau yang
baru.
Tidak
sampai setengah jam, masalah yang sama timbul, pulau kedua sudah penuh dan
masalah semakin kompleks, kubayangkan pulau ketiga, keempat, dan kelima.
Masalah
semakin pelik, pulau satu, dua, tiga, empat, dan lima memiliki masalah
sendiri-sendiri yang mereka sendiri tidak mengerti bagaimana menyelesaikannya. Aku
bosan.
Bosan
dengan kemampuan mencipta, aku mencoba melatih kemampuan yang lain. Merusak.
Kubayangkan
pulau kedua bergetar hebat dan melompatkan semua isinya ke udara. Dan terjadi,
aku sedikit terhibur. Namun baru aku sadari, aku hanya tertawa sendiri,
sebenarnya tidak ada yang terjadi, pulau kedua hanya luluh lantak.
Saking
bosannya, aku mulai mengantuk. Kantuk berat ini di dukung dengan udara segar
yang dihasilkan dari pohon besar yang kujadikan tempat bersandarku, dan kulihat matahari bahkan belum
terbenam, tidak akan sepertinya.
Dengan
setengah mata terbuka akhirnya kuputuskan solusi ekstrem untuk mengakhiri ini
semua, kubayangkan pulau-pulau saling bertabrakan dan hancur menjadi
berkeping-keping. Dan seperti yang kuduga, semua terjadi. Dan yang terakhir aku
lihat, semua menjadi debu, kecuali aku dan Pohon Besar.
Gelap.
Kepalaku
berat, dan kakiku terasa kaku, begitupun tanganku. Mataku sedikit terbuka dan
kulihat pemandangan yang terasa tidak asing di mataku. Dinding kamarku.
Kondisi
ranjangku sudah tidak beraturan, setengah terbangun, aku merubah posisi tidurku
ke arah pintu. Dan kulihat adikku yang berumur lima tahun bermain di lantai
kamar.
Bermain
rumah-rumahan.
-Ipank-
jadi mikir kalo aku ini 'boneka' dari rumah - rumahan yang siap dikasihi sak paring2 & dihancurkan kapanpun
ReplyDeleteya mungkin saja seperti itu.siapa yang tahu?makanya jangan sembarang mencipta dn menghancurkan. jangan" yg kamu ciptakan itu nanti bakal mencipta juga?ah kepanjangan komen jadinya.
ReplyDeleteKok esip se carane mas iki nulis...
ReplyDeleteMasi tahap belajar kok kak.mohon bimbingannya :)
ReplyDeleteHelegeteb....ahihihihi, sama dong ah, sama-sama belajar. Kamu bikin merinding disco aja nulis 'kak'
ReplyDeleteBiasanya, kata orang-orang hebat sih, tulisan yang bagus itu bukan hanya pada isinya. Tapi juga pada tiap detail penggunaan tata bahasa. Misalnya kapan peletakan spasi, huruf kapital, tanda baca dan lain-lain. Pokoknya EYD bangetlah...
Eh, kok saya makin meracau ya...sial