Wednesday, May 8, 2013

Saksi Bisu : Aku Bukan Siapa-siapa


8 April 2006
Bolak-balik aku melihat pria itu melihat jam tangan bermerknya, wajahnya terlihat gelisah, di mejanya hanya terdapat air putih satu gelas, itupun tidak dia minum. Sudah pasti sedang menunggu orang, sok-ku. Akhirnya yang kutunggu-tunggu tiba juga, dia mengeluarkan ponsel miliknya, kenapa tidak daritadi saja? Kutengok jam dinding di ujung resto ini, pukul 14.00 pas, itu berarti orang tersebut sudah menunggu selama setengah jam.
               Dua pertanyaan yang mungkin timbul akan aku jawab dahulu sekarang,yang pertama, siapa aku? Tenang saja, aku bukan siapa-siapa, tidak akan aku menambah konflik dalam cerita ini, aku hanya tokoh imajiner yang menambah sudut pandang dari cerita ini. Itu yang pertama. Jika kau menanyakan identitas, kurasa tidak perlu. Untuk menambah imajinasi, akan aku ceritakan bahwa aku hanyalah orang kantoran biasa yang sedang istirahat makan siang, itu mungkin cukup. Yang kedua, apa yang aku lakukan sampai memperhatikan orang itu? Pertanyaan ini pun tidak bisa aku jawab dengan gamblang, karena tujuannku ke tempat ini hanyalah untuk menyeruput segelas kopi hitam kental-agak pahit ditemani dengan sebatang-dua batang rokok. Itu saja. Perlu aku tekankan disini bahwa aku yang datang pertama, sebelum orang itu akhirnya datang dengan muka setengah masam, dan sedikit, ya, gelisah.
                Orang itu akhirnya meletakkan kembali ponselnya kedalam saku kemeja sebelah kanannya, wajahnya sudah sedikit tenang, mungkin dia sudah mendapat jawaban dari orang yang sedang ditunggunya. Benar saja, dengan jentikan jari, dia memanggil pramuniaga untuk memesan sesuatu. Letak mejaku yang tidak terlalu jauh, hanya terpisah oleh satu meja, memungkinkanku untuk mendengar apa yang dia pesan, dua buah strawberry milkshake dan sebuah roti bakar blueberry. Setelahnya, pramuniaga kembali ke tempatnya semula.
                Biar aku sedikit membeberkan analisisku tentang orang ini, dari segi penampilan, orang ini pasti sudah bekerja, terlihat dari setelan rapi kemeja lengkap dengan celana kainnya. Satu hal yang menguatkan analisisku ialah tas jinjing yang dibawanya, isinya mungkin laptop atau apa, entahlah. Orang ini pasti sedang menunggu seorang wanita, terlihat dari tingkah lakunya yang bolak balik merapikan rambut, dan tentu saja, dia tidak akan menunggu kolega kerja atau atasannya, jika memang iya, berarti selera pilihan tempatnya tentu jelek.
                Tepat sepuluh menit lebih sedikit, setelah orang itu meletakkan kembali ponselnya, seorang wanita muda datang, aku tersenyum sedikit. Dia duduk ditempat pria itu duduk. Setelahnya baru aku tahu bahwa namanya Nam, setelah wanita itu menyebut namanya sembari ditemani dengan permintaan maaf.
                Ada yang aneh, atau katakanlah-luput dari perkiraanku, jika sesuai dengan perkiraanku, seharusnya setelah bertemu kedua muka pasangan ini, jangan tanya kenapa aku tahu mereka adalah pasangan, aku juga pernah mengalaminya, terlihat bahagia. Namun ekspresi pasangan ini terlihat sebaliknya, murung. Mungkin ini yang menyebabkan aku penasaran dan akhirnya memutuskan untuk memasang telinga, dosa mungkin, tapi setidaknya aku tidak berdosa kepada keingintahuanku.
                “Ran,terus bagaimana jadinya?” ucapan sang pria yang pertama kali beresonansi pas dengan telingaku. “Entahlah, Nam, tapi aku harus mengambil kesempatan ini, tidak akan datang dua kali, dan kamu pun pasti tahu, inilah yang aku inginkan”. Setelah aku kira wanita ini selesai bicara, ia melanjutkan, “Kita tidak harus berpisah, Nam, kita hanya terpisah, itu saja. Aku kira kamu setuju bahwa keduanya sangatlah berbeda”. Aku merasa bersalah karena tersenyum tadi. Seharusnya aku tidak egois, hanya memuaskan rasa keingintahuanku, ketika aku melirik si pria, dia mulai berbicara, “….iya, tapi tidak sejauh ini Ran, Belanda itu jauh, bukan seperti keluar kota, dan lagi, sampai kapan??kamu bukan ingin bersekolah disana yang aku pasti tahu, seberapa lama aku harus menunggu, aku tidak siap Ran..” setelah meneguk Strawberry milkshakenya, dia melanjutkan,”Dan lagi, kamu pasti tidak mau untuk mengkomitmenkan hubungan ini sebelum pergi kesana, ideologimu tentang karir dan hubungan sungguh aneh menurutku”.
                Segera aku menghabiskan kopi yang sebenarnya masih lumayan banyak, tidak seperti aku biasanya yang meminum kopi, tapi aku rasa aku tidak akan menikmati kopi ini lebih lama lagi, segera aku menuju kasir dan membayar pesananku. Dan setelahnya, aku kembali ke kantor, “Aku hanya memintamu untuk menunggu Nam, jika kita memang ditakdirkan bersama, maka ini bukanlah seberapa, namun jika tidak, yakinlah bahwa kamu akan tetap jadi yang terbaik untukku”. Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang kudengar ketika melewati meja mereka, setelahnya, aku menghirup udara segar diluar.
-ipang-

0 comments:

Post a Comment