Silhouette : more than just a shadow

.image taken from many sources.

Silhouette : more than just a shadow

.image taken from many sources.

Silhouette : more than just a shadow

.image taken from many sources.

Silhouette : more than just a shadow

.image taken from many sources.

Silhouette : more than just a shadow

.image taken from many sources.

Friday, May 24, 2013

Re(nungan)?

Seingat  saya, begini bunyinya..

sumber : http://3.bp.blogspot.com/.../bulan-sabit1.jpg

SEMUA yang hidup bakalnya mati. Sudah jelas, mungkin kalimat lainnya adalah “Semua yang bernafas pasti mati”, jaga-jaga jikalau kalian baru pertama kali mendengar kalimat yang pertama. Berarti sudah jelas permasalahan kita disini, kita terlahir, lalu mati pada akhirnya. Namun, apakah hal tersebut sudah menjawab semua pertanyaan tentang hidup kita?tentu tidak. Berbagai pakar mencoba menjelaskan apa makna hidup kita di dunia ini. Salah satunya yang akan kupaparkan, bersumber dari kegiatan yang baru saja aku ikuti siang tadi. Sekali lagi, seingat saya.
                Berangkat dari persoalan nafas-bernafas, telah kita ketahui secara umum bahwa kita (manusia) bernafas dengan bahan bakar oksigen. Oksigen yang tentu dapat kita temui dimana saja, bahkan di dalam kepala kita sendiri. Namun, pada beberapa kasus, memang, saya setuju dengan yang satu ini, kita membutuhkan pengorbanan untuk mendapatkan bahan bakar yang wajib atau bahkan hakiki kita gunakan. Ambil saja contoh manusia yang membutuhkan alat bantu berupa tabung yang berisi oksigen sekadarnya hanya untuk, ya, bernafas.
                Jika kita berangkat dari sana, mungkinnya dan mungkin, harusnya, kita berterima kasih setidaknya pada diri kita sendiri yang tidak perlu repot-repot mengeluarkan kocek yang cukup banyak hanya untuk melakukan kegiatan yang sehari-harinya kita lakukan secara (seringkali) tidak sadar. Nah, sampai disini, pertanyaan diarahkan kepada apa yang harus kita lakukan ketika untuk bernafas kita sudah diberikan kemudahan?
                Yang pertama, interospeksi diri, selama kita hidup dan menghabiskan bermilyar-milyar ton oksigen untuk bernafas, tentu sudah banyak yang kita lakukan di dunia, baik itu sengaja maupun tidak sengaja, baik itu direncenakan maupun bersifat spontan, dan baik itu untuk seseorang maupun untuk diri kita sendiri. Dan parahnya, kadang kala kita melakukan sesuatu yang tidak seharusnya (salah), setidaknya menurut subyektif sendiri atau orang lain. Nah, berangkat dari pemahamanku, Interospeksi ini memang ternyata sangat berguna bagi setidaknya (lagi) diriku sendiri untuk mengupgrade kemampuan diri. Menyadari kesalahan dan memberikan rekomendasi.
                Yang kedua, berbuat baik. Segala macam peraturan yang sengaja maupun tidak sengaja sebagian besar pasti mengarahkan kearah kebaikan. Jika menurut pemahamanku, Yah,sedikit-dikitnya,sekecil-kecilnya yang aku lakukan bersifat positif bagi diri sendiri, maupun orang lain. Berbuat baik ini memang sifatnya subyektif, meskipun tujuannya obyektif. Berbagai cara pasti sudah ditempuh oleh semua orang untuk mendapatkan predikat orang baik, dengan atau tanpa tendensi apapun. Jika otakku bingung untuk memahami, lakukan hal terkecil yang bersifat positif setidaknya untuk diriku sendiri. Itu cukup baik.
                Yang ketiga, mengikuti tauladan. Siapapun kita di dunia ini, pasti kita memiliki tauladan untuk apapun yang kita lakukan. Jika kalia makan dengan tangan kanan, itu juga pasti berangkat dari tauladan, siapapun dia, begitupun dengan tangan kiri. Jika kalian terbiasa menaruh segebok uang dengan rapi di dalam dompet, itu pasti juga ulah si tauladan. Tauladan itu banyak, dan bebas siapapun dan apapun dia, meskipun ternyata tauladan itu adalah diri sendiri, itu menurut pemahamanku. Sisanya terserah kalian.

                Sebenarnya saya tidak berminat untuk megikuti kegiatan ini, karena banyak aturan yang mengikutinya dan sialnya, aku tidak terlalu suka diatur dan tidak tau aturan. Namun benar yang dikatan orang banyak, semua pasti ada hal positif dan negatifnya, setidaknya saya menemukan sedikit hal positif disana. Ingin mendengar apa kelanjutannya, semoga tidak harus selalu dengan celana panjang.

Sunday, May 19, 2013

Mimpi


AKU terbangun. Tapi tidak di ranjangku sendiri. Luas, dan berwarna hijau. Ya. Ini sebuah padang rumput.

                Kulihat sekeliling. Seperti tanpa batas, hanya ada sebuah pohon besar di sudut mataku. Matahari sungguh terik. Kuputuskan untuk berjalan lunglai kearahnya. Masih setengah sadar.
                Sesampainya disana kurebahkan tubuhku di salah satu akar pohon. Masih tersisa banyak ruang di akar ini. Terlalu besar pohon ini, memang. Mengadah keatas, daun-daun terlihat mini di atas sana, seperti bagian bawah pohon ini terlihat lebih besar daripada atas sana. Aku bingung.
                Kulamunkan diriku. Sedang apa aku disini. Untuk apa?
                Lebih jauh lagi. Apa ini?sebuah mimpikah?sejauh yang aku lihat, aku hanya sendiri disini, tidak ada seekor nyamuk atau lalat, apalagi manusia. Jika ini sebuah mimpi, maka, wajar.
                Duniaku. Begitulah aku menamai tempat yang serasa kukuasai sendiri saat ini. Tidak ada yang bisa menancapkan bendera disini selain aku, jadi terserah aku. Lamunanku semakin menjadi.
                Siapa aku disini. Apakah tetap sebagai aku sebelum aku tiba disini? Atau aku disini sebagai aku yang lain? Aku sebagai peran yang lain, atau peran baru yang harus aku isi sendiri. Entahlah, yang pasti tidak ada pedoman aku harus bagaimana dan berbuat apa.
                 Jika aku menentukan tempat ini adalah duniaku, berarti sejauh mataku memandang adalah wilayahku yang bebas ingin aku-apakan-isinya. Memang, sebenarnya aku tidak sendiri disini, ada tanah, rumput, angin, awan, matahari, dan sahabatku, si pohon besar disini.
                Lalu harus ku apakan semua ini?tanyaku pada aku sendiri. Pertama-tama aku harus menciptakan sesuatu yang bisa aku ciptakan, aku tidak akan menjadi penguasa jika tidak ada yang kukuasai.
                Berkhayal, aku akan membuat sebuah kastil dari bongkahan tanah yang tiba-tiba ada di sebelah kananku. Perlahan-lahan ku tata satu persatu bongkahan tanah tersebut, hingga setidaknya-mirip dengan sebuah kastil sesuai dengan bayangan di otakku. Setelahnya aku melamun kembali, harus ada yang mengurus kastil ini.Selama aku melamun bagaimana caranya, terlihat setitik hitam di koridor ujung barat kastil-begitulah aku menamai ujung pojok-kiri kastil yang kubuat. Ternyata seekor semut. Satu persatu mulai keluar dari bawah kastil yang kubuat.
                Setelahnya, aku baru sadar ternyata aku hanya perlu membayangkan sesuatu untuk menciptakan sesuatu, pekerjaan sebelumnya terasa sia-sia.
                Dalam hitungan beberapa menit aku sudah menciptakan ribuan pohon, aliran sungai, hewan-hewan dengan jumlah yang tidak seimbang sama sekali, matahari kedua, dan jutaan manusia mini yang kusebut “orang”. Setelahnya aku bersantai menikmati hasil pekerjaanku.
                Dalam sepuluh menit pertama, orang-orang ini ternyata meniru buah tanganku, mereka menciptakan kastil yang sama persis dengan kastil yang ku buat, mereka menduplikat pohon-pohon yang kuciptakan, dan menambah aliran sungai, tidak lupa mereka menambah sekaligus membunuhi hewan-hewan yang kuciptakan, meskipun kesemuanya membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih merepotkan dari caraku.
                Sepuluh menit kedua, mereka(orang) sudah memperbanyak diri menjadi empat kali lipat dari yang aku ciptakan. Dan mereka berseteru. Heran mengapa mereka berseteru, aku mendekatkan telinga ke tanah dan mencoba mendengar, ternyata mereka berebut lahan.
                Dengan segera, aku membayangkan sebuah pulau yang berukuran sepuluh kali lipat dari yang kutempati sekarang. Dan “voila” terbentuk pulau itu. Kutempatkan setengah dari orang-orang itu ke pulau yang baru.
                Tidak sampai setengah jam, masalah yang sama timbul, pulau kedua sudah penuh dan masalah semakin kompleks, kubayangkan pulau ketiga, keempat, dan kelima.
                Masalah semakin pelik, pulau satu, dua, tiga, empat, dan lima memiliki masalah sendiri-sendiri yang mereka sendiri tidak mengerti bagaimana menyelesaikannya. Aku bosan.
                Bosan dengan kemampuan mencipta, aku mencoba melatih kemampuan yang lain. Merusak.
                Kubayangkan pulau kedua bergetar hebat dan melompatkan semua isinya ke udara. Dan terjadi, aku sedikit terhibur. Namun baru aku sadari, aku hanya tertawa sendiri, sebenarnya tidak ada yang terjadi, pulau kedua hanya luluh lantak.
                Saking bosannya, aku mulai mengantuk. Kantuk berat ini di dukung dengan udara segar yang dihasilkan dari pohon besar yang kujadikan tempat  bersandarku, dan kulihat matahari bahkan belum terbenam, tidak akan sepertinya.
                Dengan setengah mata terbuka akhirnya kuputuskan solusi ekstrem untuk mengakhiri ini semua, kubayangkan pulau-pulau saling bertabrakan dan hancur menjadi berkeping-keping. Dan seperti yang kuduga, semua terjadi. Dan yang terakhir aku lihat, semua menjadi debu, kecuali aku dan Pohon Besar.
Gelap.
                Kepalaku berat, dan kakiku terasa kaku, begitupun tanganku. Mataku sedikit terbuka dan kulihat pemandangan yang terasa tidak asing di mataku. Dinding kamarku.
Kondisi ranjangku sudah tidak beraturan, setengah terbangun, aku merubah posisi tidurku ke arah pintu. Dan kulihat adikku yang berumur lima tahun bermain di lantai kamar.
Bermain rumah-rumahan.
-Ipank-

Thursday, May 16, 2013

"topeng"

SIAPA yang pernah memakai topeng?mungkin beberapa dari kalian pernah, entah itu pada saat taman kanak-kanak, sekolah dasar, ketika acara karnaval, atau acara seleberasi, apapun itu, aku anggap kalian pernah menggunakan topeng. Sebelumnya aku tekankan bahwa tulisan ini hanyalah bersifat subyektif dari sisi penulis yang hanya ingin menumpahkan isi otak yang kadang (sering) kali tidak berguna.
sumber: http://hackerzx.files.wordpress.com

              Ketika menggunakan sebuah topeng, baik itu topeng penuh maupun topeng yang hanya menutupi sebagian dari wajah, biasanya,sih,yang disisakan bagian mulut, ah, apapun itu, yang ingin aku sampaikan adalah perasaan kita saat menggunakan alat yang dulu aku pikir sangat tidak penting. Apa sebenarnya fungsi dari topeng ini?
                Menunjukkan sosok lain, atau menyembunyikan sosok asli. Mungkin ini tujuan dari si pengguna topeng. Entah itu untuk tujuan apa, tapi menggunakan topeng memang lumayan untuk dijadikan jalan pintas ketika kita ingin menampilkan “sosok” kita yang lain. Untuk kepentingan apapun, untuk penyembunyian identitas, sampai hanya sekedar untuk kesenangan, topeng memang terbukti efektif.
                Ada yang menggelitik ketika aku secara tidak sengaja iseng untuk sengaja menggunakan otak yang seringkali hanya digunakan untuk iseng, baik itu sengaja maupun tidak sengaja. Ternyata dalam keseharian, topeng ini selalu kita gunakan. eLoh? Kok bisa? Bisa. Oleh karena itu , dengarkan aku terlebih dahulu. “Topeng“ yang aku maksudkan disini bukan lagi bentuk fisik topeng dalam wujud apapun, entah bentuk pahlawan fisik, tokoh horror, atau topeng berbentuk kepala spongebob yang aku tahu, spongebob tidak punya kepala..

                Seorang anak SD lupa mengerjakan PR karena semalam terlalu asik bermain petak umpet bersama teman-teman sebayanya, sampai larut malam baru memasuki rumahnya. Itupun jika ibunya yang hanya memakai baju daster memanggilnya dari pagar rumah sambil setengah berteriak. Alhasil, anak ini kebingungan setengah mati keesokan harinya. Ingin mengerjakan pagi harinya, rasanya mustahil membuat replica perumahan dari sebuah kardus hanya dalam beberapa jam. Ingin bolos, baru teringat, dia sudah bolos tiga hari berturut-turut hari sebelumnya. Akhirnya, dengan terpaksa dia memutuskan untuk memasang wajah melas dan mengatakan bahwa semalam ibundanya sakit dan dengan terpaksa lagi dia harus ikut merawatnya. Sang guru memaklumi.

                Studi kasus diatas hanya sedikit dari berjuta contoh kasus lain yang menggunakan “topeng” dengan alasan yang sama dengan topeng. “Topeng” yang seperti ini memang melibatkan keahlian diri dalam memanipulasi otak untuk memposisikan diri dalam kondisi atau kepribadian tertentu.
                Tapi ada yang lucu dari kegiatan ber”topeng” ini. Dalam kondisi kita terlalu banyak dan sering menggunakan “topeng”, ternyata efek yang diberikan cukup aneh dalam arti negatif. Kita jadi lupa diri kita ini sebenarnya yang mana. Yang kemarin, kemarin lusa, yang ketika bertemu pimpinan, dosen, teman atau ketika bertemu pacar? Efeknya yang ternyata membuat kita kebingungan sendiri sampai-sampai membuat pusing tujuh belas seratus tiga puluh empat ribu keliling ketika ingin kembali ke sosok kita yang sebenarnya, sungguh memuakkan. Serasa lebih buruk dari seekor bunglon yang  ternyata masih ingat “topeng” aslinya.
                Beberapa kali melontarkan pernyataan demikian ke beberapa teman, ternyata jawabannya beragam, tidak ada yang benar” pasti, semua benar, dan ternyata, semua juga salah. Ketika semua sudah suntuk menemui jalan buntu, kesana-kemari mencari jawaban dan, tentu saja masih dengan menggunakan beragam “topeng”, ternyata yang bisa menjawab hanya “topeng” itu sendiri.

Semua itu aku, semua itu kamu, itu memang benar, sekaligus salah.

Manapun yang kamu, aku pakai, itu adalah kamu, dan aku.

Aku representasi dari kamu. Itu yang hakiki.

Dan kamu representasi dari aku. Itu yang pasti.

Meskipun kamu berselingkuh dariku. Tak apa, karena aku masih bersamamu.

Ketika kamu merasa nyaman, disitu ada aku.

Dan ketika aku merasa nyaman, kamu akan menggunakanku.

Itu-lah “Topeng”mu, dan “Topeng“ku.
-Ipank -

Wednesday, May 15, 2013

Selamat datang, kawan baru


MELIHAT beberapa kawan muda-begitulah aku menyebutnya-sedang ramai bermain notes. Mungkin hal tersebut sudah biasa, jikalau notes tersebut terletak di atas meja beriringan dengan sebuah ballpoint atau pensil, nah, yang satu ini sedikit berbeda, tulisan-tulisan mereka memang bisa dibaca, namun tidak bisa dilihat. Ya, mereka sedang ramai meng-utak-utik blog.
hai kawan baruku.

                Tenang saja kawan, aku tidak akan berbicara tentang apa definisi dari blog itu, aku yakin sudah terlalu banyak para(h) ahli yang bisa mengartikan apa itu blog, aku hanya korban.
                Aku, pribadi, tidak pernah mencoba bermain dengan blog (sepertinya sudah tidak termasuk kata asing lagi sekarang). Baru beberapa hari-mungkin minggu ini aku baru mencoba menjamah wajah peranakan dari dunia maya ini. Secara keseluruhan, bermain blog memang terasa asyik, setidaknya pada bagian egois birahiku, menata letak.
                Jujur saja, dan mungkin beberapa dari kalian sudah tahu, aku tidak terlalu suka membaca dan menulis. Semenjak awal aku dikenalkan bahwa keduanya penting, aku masih tidak jatuh cinta. Jangan tanya kenapa, sayang. Namun demikianlah adanya, bukanlah aku tidak menganggap bahwa membaca dan menulis ini tidak penting. Hati nurani tidak akan pernah bisa berbohong, itu kata orang. Aku memang merasakan dampak langsung ketika (memaksa) melakukan keduanya. Itu yang pasti.
                Bereksperimen, itulah yang mendasariku untuk tetap mendekati dua sejoli ini, berbagai cara aku lakukan yang jelas, tidak perlu aku sebutkan, untuk tetap bersenggama dengan keduanya. Termasuk yang aku lakukan saat ini, mencoba menulis. Aku ingat seorang teman pernah berkata bahwa di beberapa tempat, gaya tulisanku berbeda. Entahlah, mungkin jati diri masih haus akan berjuta gaya yang, aku sendiri tidak tahu maksudnya.
                Mungkin blog ini merupakan kawan baru dalam menumpahkan isi otak ketika aku beronani dengannya. Setidaknya aku tidak memaksa telinga seseorang untuk mendengarnya dari mulutku. Semoga blog ini berumur panjang, itu mungkin harapan sekaligus antiklimaks dari birahi ini, semoga. Yang pasti, aku ucapkan selamat datang, silhouette.

Wednesday, May 8, 2013

digital

BEBERAPA kali dimintai tolong oleh temen-temen dan pas pada saat itu tangan dan otak saya juga lagi menganggur, silahkan dikomen, dikritik pun boleh ;)





manual

KUMPULAN karya (kalau boleh dibilang begitu) entah dimulai dari kapan tapi setelah bongkar-bongkar arsip,ketemunya baru segitu, mungkin nanti akan di update :)

Saksi Bisu : Aku Bukan Siapa-siapa


8 April 2006
Bolak-balik aku melihat pria itu melihat jam tangan bermerknya, wajahnya terlihat gelisah, di mejanya hanya terdapat air putih satu gelas, itupun tidak dia minum. Sudah pasti sedang menunggu orang, sok-ku. Akhirnya yang kutunggu-tunggu tiba juga, dia mengeluarkan ponsel miliknya, kenapa tidak daritadi saja? Kutengok jam dinding di ujung resto ini, pukul 14.00 pas, itu berarti orang tersebut sudah menunggu selama setengah jam.
               Dua pertanyaan yang mungkin timbul akan aku jawab dahulu sekarang,yang pertama, siapa aku? Tenang saja, aku bukan siapa-siapa, tidak akan aku menambah konflik dalam cerita ini, aku hanya tokoh imajiner yang menambah sudut pandang dari cerita ini. Itu yang pertama. Jika kau menanyakan identitas, kurasa tidak perlu. Untuk menambah imajinasi, akan aku ceritakan bahwa aku hanyalah orang kantoran biasa yang sedang istirahat makan siang, itu mungkin cukup. Yang kedua, apa yang aku lakukan sampai memperhatikan orang itu? Pertanyaan ini pun tidak bisa aku jawab dengan gamblang, karena tujuannku ke tempat ini hanyalah untuk menyeruput segelas kopi hitam kental-agak pahit ditemani dengan sebatang-dua batang rokok. Itu saja. Perlu aku tekankan disini bahwa aku yang datang pertama, sebelum orang itu akhirnya datang dengan muka setengah masam, dan sedikit, ya, gelisah.
                Orang itu akhirnya meletakkan kembali ponselnya kedalam saku kemeja sebelah kanannya, wajahnya sudah sedikit tenang, mungkin dia sudah mendapat jawaban dari orang yang sedang ditunggunya. Benar saja, dengan jentikan jari, dia memanggil pramuniaga untuk memesan sesuatu. Letak mejaku yang tidak terlalu jauh, hanya terpisah oleh satu meja, memungkinkanku untuk mendengar apa yang dia pesan, dua buah strawberry milkshake dan sebuah roti bakar blueberry. Setelahnya, pramuniaga kembali ke tempatnya semula.
                Biar aku sedikit membeberkan analisisku tentang orang ini, dari segi penampilan, orang ini pasti sudah bekerja, terlihat dari setelan rapi kemeja lengkap dengan celana kainnya. Satu hal yang menguatkan analisisku ialah tas jinjing yang dibawanya, isinya mungkin laptop atau apa, entahlah. Orang ini pasti sedang menunggu seorang wanita, terlihat dari tingkah lakunya yang bolak balik merapikan rambut, dan tentu saja, dia tidak akan menunggu kolega kerja atau atasannya, jika memang iya, berarti selera pilihan tempatnya tentu jelek.
                Tepat sepuluh menit lebih sedikit, setelah orang itu meletakkan kembali ponselnya, seorang wanita muda datang, aku tersenyum sedikit. Dia duduk ditempat pria itu duduk. Setelahnya baru aku tahu bahwa namanya Nam, setelah wanita itu menyebut namanya sembari ditemani dengan permintaan maaf.
                Ada yang aneh, atau katakanlah-luput dari perkiraanku, jika sesuai dengan perkiraanku, seharusnya setelah bertemu kedua muka pasangan ini, jangan tanya kenapa aku tahu mereka adalah pasangan, aku juga pernah mengalaminya, terlihat bahagia. Namun ekspresi pasangan ini terlihat sebaliknya, murung. Mungkin ini yang menyebabkan aku penasaran dan akhirnya memutuskan untuk memasang telinga, dosa mungkin, tapi setidaknya aku tidak berdosa kepada keingintahuanku.
                “Ran,terus bagaimana jadinya?” ucapan sang pria yang pertama kali beresonansi pas dengan telingaku. “Entahlah, Nam, tapi aku harus mengambil kesempatan ini, tidak akan datang dua kali, dan kamu pun pasti tahu, inilah yang aku inginkan”. Setelah aku kira wanita ini selesai bicara, ia melanjutkan, “Kita tidak harus berpisah, Nam, kita hanya terpisah, itu saja. Aku kira kamu setuju bahwa keduanya sangatlah berbeda”. Aku merasa bersalah karena tersenyum tadi. Seharusnya aku tidak egois, hanya memuaskan rasa keingintahuanku, ketika aku melirik si pria, dia mulai berbicara, “….iya, tapi tidak sejauh ini Ran, Belanda itu jauh, bukan seperti keluar kota, dan lagi, sampai kapan??kamu bukan ingin bersekolah disana yang aku pasti tahu, seberapa lama aku harus menunggu, aku tidak siap Ran..” setelah meneguk Strawberry milkshakenya, dia melanjutkan,”Dan lagi, kamu pasti tidak mau untuk mengkomitmenkan hubungan ini sebelum pergi kesana, ideologimu tentang karir dan hubungan sungguh aneh menurutku”.
                Segera aku menghabiskan kopi yang sebenarnya masih lumayan banyak, tidak seperti aku biasanya yang meminum kopi, tapi aku rasa aku tidak akan menikmati kopi ini lebih lama lagi, segera aku menuju kasir dan membayar pesananku. Dan setelahnya, aku kembali ke kantor, “Aku hanya memintamu untuk menunggu Nam, jika kita memang ditakdirkan bersama, maka ini bukanlah seberapa, namun jika tidak, yakinlah bahwa kamu akan tetap jadi yang terbaik untukku”. Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang kudengar ketika melewati meja mereka, setelahnya, aku menghirup udara segar diluar.
-ipang-

Monday, May 6, 2013

Cewek, Ngopi Yuk!


Taken from nguleksambel.blog.com, my own write.
Hari Sabtu, hari yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan hari-hari yang lain. Terutama bagi saya. Kenapa? karena tidak ada apa-apa. Toh saya memang pengangguran, tapi mending. Saya masih mahasiswa.
Tadi pagi-pagi sekali saya dapat sms dari Dila dan Marisa. Saya lupa siapa yang sms dulu. Sepertinya saya, soalnya nggak mungkin mereka sms duluan.
Isinya sederhana, mereka bertanya-tanya kapan jadi diajak ke Cak Wang. Kemarin siang memang saya dan teman-teman berjanji akan mengajak mereka berdua ke Cak Wang.
Waduh, saya lupa mengenalkan siapa itu Dila dan Marisa, mereka berdua adalah anggota baru di tempat saya berorganisasi, dan sesuai kebiasaan adat setempat, memang kalau ada anggota baru berkelamin perempuan, biasanya akan jadi perhatian. Meskipun tidak semua.
dan sekarang Cak Wang. Cak Wang adalah suatu tempat untuk berdiskusi, berorganisasi sambil menuang kopi kedalam mulut, dan bercengkerama tentang dunia politik, organisasi, dan kemajuan bangsa dan negara. Biasanya orang-orang disana akan terlibat sebuah, ehm…sesuatu yang berbau konflik, konflik yang anarkis sehingga menimbulkan keributan yang tidak biasa. Begitulah Cak Wang menurut Toni Blank, kira-kira.
Ternyata yang berkumpul di  warung Cak Wang laki-laki semua. Ada sih satu perempuan, tapi tetap berambut laki-laki. Dan kepunyaan Krist.
Mengajak perempuan ke warung kopi memang susah. Setidaknya itu yang saya alami. Bukan main susahnya. Selalu ada saja alasan untuk menolak undangan kami. Kalau kata Krist sih alasannya lebih banyak dari bulu musangnya GM.
Entah kenapa, apa mulut saya kurang lihai untuk mengajak, sehingga ajakan yang masuk ke telinga mereka kurang mengasyikkan daripada menonton drama korea, shopping di mall, atau tidur siang. Padahal mulut saya sudah cukup berbusa, ketika menyusun kata-kata, ayok ngopi.
Ngopi, padahal banyak sekali manfaatnya, lagi-lagi menurut saya. paling-paling negatifnya yang paling kerasa hanya dua, ilang waktu, ilang uang. sedangkan positifnya, tidak terlalu banyak.
–ipank–

Sunday, May 5, 2013

Saksi Bisu : Rani hanya Rani


Taken from nguleksambel.blog.com, my own write.
Selamat hari Rabu, pembaca., hari dimana saya melanjutkan cerita yang sebenarnya gak pwedes-pwedes amat. Janji adalah janji. Janji is Janji, kalau tidak salah ingat, saya pernah berjanji pada diri saya sendiri kalau rencananya cerita ini saya update setiap satu minggu sekali. Tentu ada alasannya, namun maaf seribu maaf alasan tersebut tidak saya ungkapkan disini. Mungkin lain kali, entah. Nikmati saja.
Masih 11 Oktober 2004
Tak tuk tak tuk, Jemariku berkejar-kejaran dengan serentetan huruf yang muncul di layar ponselku.
“Lagi dimana kamu ran? Ni aq otw kampus”
Recently contact, nama Rani-cowek masih diurutan teratas daftar kontak yang sering aku hubungi. Setelah memasukkan beberapa buku ke dalam tas, aku bergegas menuju ke parkiran kos, sambil memutar-mutar kunci kontak sepeda motor, kebiasan lama yang tidak hilang.
Kampus terlihat seperti biasanya, puluhan sepeda motor berjejer rapi di tempat parkir di ujung timur Fakultas Ekonomi Universitas Jember. Beberapa mobil milik mahasiswa dan dosen nangkring di seberangnya. Ratusan mahasiswa berjalan lalu lalang, hanya beberapa wajah yang aku kenal. Sisanya seperti lalat, selalu ada, namun tidak tahu apakah lalat yang kutemui sekarang sama dengan yang kutemui kemarin, dan nggak penting.

Ponselku bergetar, sedikit geli di paha bagian atas, dimana ponsel merah-hitam biasa aku sembunyikan, di saku depan.
“Tunggu aja di kantin, bentar lagi aku kesana”
Enam sampai tujuh pesan berjejer vertikal di atas dengan nama Rani-cowek. Setelahnya baru nama lain, biasanya diawali dengan nama Akt, Mgt, atau Esp. Jangan salah paham dulu, tidak ada yang spesial dengan Rani sebenarnya, dan begitupun diantara kami, Rani hanya Rani. Tidak lebih.
Selagi menunggu Rani, ijinkan aku memperkenalkan kepada kalian. Bagaimana ceritanya sampai ada nama Rani-cowek diponselku. Ketika aku pertama kali masuk sebagai mahasiswa angkatan 1998, aku masih terlalu cupu untuk mencari banyak teman, dan biasanya memang seperti itu. Maklum aku memang tidak pintar membuka diri.
Rokok pertama hidup, sambil memesan kopi pahit, minuman yang kuanggap pendamping paling sempurna untuk menikmati satu-dua batang rokok. Diseberang tempatku duduk terdapat sepasang mahasiswa, kemungkinan semester baru tahun ini, kalau aku boleh sok tahu. Terlihat dari kemeja yang masih rapi dan sepatu yang terlihat sekali. Baru.
Kembali lagi ke Rani. Seperti kataku sebelumnya, Rani adalah Rani. Rani bukan siapa-siapa yang harus mendapat tempat spesial dan harus diceritakan secara spesial pula. Rani adalah kenalan pertamaku saat pertama aku menginjakkan kaki di kampus ini. Dan secara kebetulan, Rani terdaftar satu jurusan denganku. Dari kesamaan tersebut, secara sistematis kami memiliki alur kegiatan yang sama. Kira-kira begitulah awal bagaimana aku mengenalnya.
Rani-cowek, bukan sembarang aku memberikan predikat tersebut kepada sosok yang satu ini. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos, kadangkala memang sampai salah tempat, tidak sekali dua kali dia mendapat teguran karena gaya bicaranya yang flamboyan itu. Mulutnya memang tempat meracik kata-kata yang pedas. Seperti cowek.
“Hei cowok!udah lama ya nunggunya!” teriakan Rani benar-benar membuyarkan lamunanku tentangnya, Sembari merangkulkan tangan kanannya ke leherku, dia berbisik dengan nada mengancam “Uda janji loh ke Pak Mat, jangan cari-cari alasan lagi loh”, dilanjut dengan mengumbar senyum mengejek. Dan akupun mengiyakan, terlanjur janji, pikirku. Rani berpenampilan seperti biasanya. Dengan kaos dan ditumpuk dengan kemeja yang berwarna terang, ciri khasnya. Sama sekali tidak membawa predikat “mahasiswa semester tua”.
Kopi pesananku datang. Dan aku meminta ijin kepada Rani untuk menghabiskan kopi terlebih dahulu, dan ia mengiyakan. Setengah kopi tidak terasa ditemani dengan celotehan Rani, bercerita tentang apa yang tadi terjadi di kelas. Pak Alwan marah besar. Dosen matakuliah metodologi penelitian itu memang kadang suka nyeleneh, memberikan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan matakuliah samasekali. Dan apesnya, satu mahasiswa yang satu tahun dibawah angkatanku malah lebih nyeleneh. Menjawab dengan asal-asalan, meskipun maksudnya benar.. Masa pertanyaannyeleneh kenapa roda itu bundar dijawab dengan jawaban yang lebihnyeleneh. Kapan pulang.
Alhasil, tugas berat untuk minggu depan.
Setengah cangkir kopi aku biarkan. Tidak kuhabiskan. Rani sudah kebelet banget sama pentol Pak Mat. Kitapun berangkat.
Dua porsi bakso dengan pentol telur, lengkap dengan tahu dan gorengannya, hadir di meja tempatku dan Rani duduk memesan. “Makasih Pak Mat!” ujar Rani bernada seperti anak kecil, dengan nada “a” dipanjang-panjangkan pada kata Mat. Sekilas dilihat, Rani tidak jauh berbeda dengan perempuan kebanyakan, berani taruhan, ada ribuan orang di dunia sana yang mirip dengannya, baik wajah maupun peringainya. Yang membuatnya istimewa adalah, aku mengenalnya. Tidak lebih.
Wangi parfum tercium saat Rani mengibaskan rambut panjangnya ke sisi bahunya, agar tidak tercelup ke manguk bakso, mungkin. Dia mulai menyeruput sendokan kuah pertamanya, saat matanya melirik kearahku, tetap sembari menunduk. “Bengong aja pan??! Dingin tu baksonya!”. Selamat. Rani membuyarkan lamunanku untuk kedua-kalinya hari ini. Dengan senyum pahit akupun ikut menirukan gerakannya. Entah karena ingin membalas perbuatannya, penasaran atau hanya sekedar basa basi, aku menanyakan pertanyaan yang mungkin akan aku sesali beberapa saat kedepan. Mengapa sampai saat ini dia masih saja sendiri.
Ternyata pertanyaan ini membuat Rani bereaksi berlebihan. Buktinya dia tersedak. “Maksudnya apaan? Tanya nggak penting banget gitu??”. Lumayan tinggi nada suaranya saat itu, beberapa mata sampai menoleh kearah kami. Termasuk Pak Mat. Setelahnya, suasana begitu kaku di meja kedai bakso milik Pak Mat. Yang terlihat di depan mataku hanya wajah Rani yang masam.
Februari, 2012
Seorang wanita duduk di sebuah kursi di sebuah teras rumah. Terbuat dari kayu. Wajahnya sedikit gelisah. Berulang kali dia melirik kearah jam dinding di dalam rumah. Pukul tujuh malam. Ponselnyapun dipenuhi dengan satu nama yang dipanggil berulang kali. Hampir tidak terhitung. Bunyi sepeda yang dikenalnya dari kejauhan terdengar saat dia akan menekan tombol dialkepada kontak yang sama. Pan.
Seorang pria memarkir sepeda motor berwarna hitam, dan berjalan santai kearah teras rumah. “Lama banget yah!!kemana aja?” si wanita bertanya dengan nada sedikit histeris. “Maaf ma, tadi ayah mampir sebentar beli sate. Buat makan malam” si pria dengan tersenyum menjawab santai. Mereka berdua lalu masuk kedalam rumah bercat hijau muda tersebut. Bergandeng tangan. Terlihat papan nama di pintu rumah itu. Pan laksono.
-Ipank-

Saksi Bisu


Taken from nguleksambel.blog.com, my own write.
Semalam saya meminta ijin kepada mimin,saya ingin menulis cerbung,sesuatu yang belum pernah tuntas saya lakukan sebelumnya. Dan dia membolehkan. Jadi begini kisahnya.
Seperti layaknya cerita melodrama lainnya. Kisah ini dimulai dengan latar seorang anak laki-laki dan seorang gadis,meskipun saya sendiri tidak tahu,apa benar dia benar-benar masih gadis. untuk mempermudah,selanjutnya si laki-laki kita sebut saja “aku”
10 November 1991
“pan!!” seseorang memanggil namaku dari kejauhan. nam berlari seraya menghampiriku. “tunggu bentar,kok aq ditinggal sich!” teriaknya. kemarin memang kita sudah berjanji untuk berangkat sekolah bersama. Namun nam terlal lama,bersolek mungkin. Jadi aku tinggal saja.
Oh iya, maaf terlalu lancang sebelumnya, aku sengaja tidak memperkenalkan diri, pun memperkenalkan nam sebelumnya. silahkan mengenal kita berdua sejalan dengan cerita ini. Seperti kata pepatah usang, “tak kenal maka tak sayang”.
Nafas nam tersengal-sengal, mirip suara mobil pak kades ketika dipanaskan ketika aku berangkat sekolah berjalan kaki tiap pagi. Kedua tangan nam disandarkan kepundakku, sambil badannya dibungkukkan. mencari sandaran. “jahat banget sich,cuma telat sepuluh menit juga!!” ujarnya setengah tersengal-sengal. Dan aku hanya menjawab santai. Aku tidak suka orang yang telat. “Ya udah, ayo buruan! ntar dimarahin Pak Kem kalo sampek telat!” jawabnya sambil berlari menarik tanganku, hampir saja aku terjembab.
Jarak sekolah dan rumah kami, dimana aku dan nam bertetangga semenjak terakhir kali kami bisa mengingat, memang dekat, sekitar satu kilo-kurang sedikit. Sebenarnya aku dan nam tidak selalu berangkat sekolah bersama, kadangkala dia diantar oleh bapaknya yang bekerja menjadi pak carik, sekretaris desa, naik motor Honda putih-merah. Biasanya nam selalu tersenyum sambil melambaikan , ketika menyalip aku yang sedang berjalan.
Sesampainya di depan gedung berpapan besar,mungkin seukuran kami jika diberdirikan, kubaca lagi tulisan yang ada di papan tersebut, “SD EGERI HARAPAN”, dengan 2 huruf “N” yang hilang. Setengah terkaget saat mendengar suara dari Pak Timan yang membuyarkan lamunanku, “Buruan dik, Pak Kem sudah berdiri di lapangan”. Sontak kami berlari masuk kedalam sekolah, kalau Pak Kem sudah berdiri di lapangan, pasti waktu sudah menunjukkan pukul 06.55, lima menit lagi beliau akan berteriak, “Pak Man,tutup pagarnya!”, tanda KBM akan berlangsung.
Hari itu kegiatan di sekolah berlangsung biasa saja, selain pelajaran Bahasa Jawa yang selalu tidak aku mengerti, bayangkan, aku tidak bisa berbahasa tersebut, sudah ditambah dengan bahasa kromo inggil, yang menurutku merupakan bahasa yang lain lagi. Sebenarnya ada lagi yang tidak biasa, teman sekelas tadi ribut sekali. Tiba” dikelas bau tai kucing, dan menyengat sekali, tanda bahwa benda tersebut tidak jauh. Setelah setengah jam menelisik, ternyata diketahui asalnya dari celana temanku yang sepagi tadi sarapan rujak. Lombok lima.
Bunyi bel panjang, tanda sekolah telah usai, aku bergegas mengambil tas dan menuju kelas IV, kelas nam, yang berada di sebelah ruang kelasku. Oh iya, nam setahun lebih muda dariku.
Sepulang sekolah hari ini kami berjanji akan pergi kerumah Pak Saleh, minta dibuatkan layang-layang. Di tempat kami sedang musim layang-layang, di tempat kami biasa disebut layangan. Dan layangan buatan Pak Saleh adalah layangan paling bagus di daerah kami, seimbang, dan rangkanya kokoh. belum lagi gambarnya yang bagus.
Nam tersenyum lebar saat keluar dari ruang kelasnya, sambil memegang rambutnya yang dikuncir dua,kanan-kiri. Kulitnya yang kuning langsat tidak menampakkan hobinya bermain layangan, padahal nam terkenal jago bermain layangan. Sebaliknya dengan aku yang tidak terlalu suka bermain layangan, lebih suka berdiam diri di kamar, membaca buku. Tapi kulitku hitam.
Di perjalanan ke rumah Pak Saleh, aku bercerita tentang temanku yang berbau tai kucing tadi. Nam tertawa terpingkal-pingkal, sampai keluar air mata. Padahal tidak begitu lucu menurutku. malah aneh. makan rujak lombok lima aja sampai begitu.
Rumah Pak Saleh lumayan jauh. Bukan jauh jarak sebenarnya. Hanya saja kita harus menyeberangi dua jalan besar dan satu sungai kecil hanya untuk mencapai jalan setapak menuju rumah Pak Saleh. Jalan besar pertama sudah kami lalui, diseberangkan oleh pak becak. Nam kembali membahas masalah hubungan rujak dengan bau tai di kelasku, sembari terkekeh-kekeh tentunya. Sedikit menjijikkan sebenarnya, pembahasan nam terlalu mendetail, seperti apakah yang keluar itu makanan kemarin malam atau rujak tadi pagi.
Tiba-tiba kami sudah di tengah jalan besar yang kedua. bel mobil terdengar keras di telinga. Aku berlari menyeberang, sembari menoleh kebelakang, Nam terjatuh, bel mobil sekarang ditemani dengan decit ban. Cepat sekali. gelak tawa nam tidak terdengar lagi. Hanya riuh masyarakat setempat.
11 Oktober 2004
Aku terbangun dengan badan basah kuyup. sungguh mimpi yang aneh. kuraih ponsel milikku, kulihat, pukul 08.00, dengan tanda amplop berangka 2 disebelahnya. Rani-cowek.
Heh, g kul km?uda jm 7.45 nich!
Pesan satunya,
Uda aq TA in, bakso pak mat pokokny.
sambil menggosok mata, aq ambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi kos di bawah. rencana hari ini, ke kampus, bakso pak mat. Oh iya ada lagi, lupakan mimpi semalam.